Sabtu, 22 Desember 2012

Hidup Untuk Mati

اعمل لدنياك كـأنك تعيشين أبدا و اعمل لاخرتك كأنك تموت غدا Bila kita mengerjakan sesuatu untuk duniawi, maka kita harus mengerjakannya semaksimal mungkin seakan-akan kita akan hidup selamanya, tapi untuk masalah ke-akhiratan, sebaiknya kita mengingat seakan-akan kita akn mati esok. Maka kita akan jauh lebih giat beribadah. Refleksi setelah mengajar di MI. Ada seorang murid kelas enam yang ternyata mengidap kanker otak stadium empat, walau tak kenal aku tetap asyik menyimak cerita Pak Kepala Sekolah. Kondisi anak itu telah kritis. Sampai-sampai botok kepalanya retak. Kondisi pasca operasi yang ‘paling’ selamat adalah setengah mati. Karena otaknya akan diambil setengah. Ditangani oleh dua dokter kepresidenan yang sudah dihasut untuk berbuat amal bagi anak itu. Semoga operasinya berhasil. Amin. Sang kepala sekolah jugaSemoga operasinya berhasil. Amin. Sang kepala sekolah juga bercerita tentang mimpinya. Dulu sekali beliau pernah bermimpi mati. Sangat terasa. Sudah dimandikan, dikafani, dan akan dikuburkan, si mayat kepala sekolah itu bicara. Ia belum bersyahadat. Setelah membaca syahadat lengkap, beliau terbangun karena tebasan sajadah temannya yang mengatakan ia mengigau sambil bersyahadat keras-keras. Subhanallah.... bila saja kepala sekolah tersebut tak bersyahadat bisa saja ia dibawa mati dalam tidurnya. Aku termenung sejenak. Mungkin juga aku sudah lama tak pernah memikirkan kehidupan setelah mati itu. Aku terlalu disibukkan dengan urusan keduniawian. Sibuk memikirkan kuliah selanjutnya, hiburan, dan berbagai macam hal yang sebenarnya hanya sesaat. Bulu kudukku otomatis berdiri mendengar cerita tersebut. Hampir saja menangis. Saat kepala sekolah bercerita tentang pembantunya yang ribut dengan pertanyaan. “Kita hidup untuk aapa, sih?” beliau menjawab, “Kita hidup untuk menyiapkan bekal setelah mati. Memilki mobil, digunakan untuk menolong orang. Memilki banyak uang, duigunakan untuk sedekah. Jadi sebenarnya yang kita lakukan di dunia ini ya kembalinya untuk nanti ketika kita telah mati.” Lalu, apa yang telah kita persiapkan kini untuk bekal kelak bila nanti nafas tak mau lagi berhembus? Atau saat jantuk tak mau lagi berdetak? Siapkah kita untuk semua itu? Indahnya hidup adalah saat kita dapat mengetahui kapan kita mati. Sama seperti hujan tak akan ada yang prenah tahu kan kapan turunnya kecuali jika sudah ada tanda-tanda mendung dan langit gelap? Karena tidak tahu itu, maka kita harus menyiapkan diri dengan segala kemungkinan terburuk. Bisa saja setelah aku menulis ini aku mati. Siapa yang tahu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar