Rabu, 26 Desember 2012

Memilih masa depan

Mungkin agak sedikit drama. Tapi jangan sebut aku Drama Queen karenanya. Aku tak pernah tahu masa depan. Manusia juga begitu. Siapapun ia. Bahkan dukun pun, tidak akan tahu bagaimana ia akan disiksa nanti di neraka atas kerjasamanya dengan jin dan setan untuk menguping pembicaraan surga tentang masa depan. Jibril saja tidak tahu kapan akan kiamat. Lalu apa yang manusia harus lakukan? Manusia cukup dan memang seharusnya untuk mempersiapkan masa depannya. Walau toh akhirnya Tuhan jugalah yang menentukan. Alasan tersebut bukan berarti membuat kita diam dan menunggu ketentuan akhir dari Tuhan, bukan? Kita harus tetap bergerak dan menggerakkan. Berfikir dan memikirkan. Untuk itu kan manusia diciptakan. Malaikat akan seratus persen taat pada Allah karena mereka memilki chip program untuk menjadi hamba Allah yang paling taat. Mereka tak memiliki keinginan ataupun hawa nafsu. Setan pun seperti itu. Ia akan seratus persen membangkang pada Allah karena chip yang mereka gunakan dari awal pembentukannya untuk menyesatkan manusia. Sedangkan manusia? Manusia bisa saja menjadi hamba Allah yang taat dan hamba Allah yang palng durhaka. Karena manusia dapat memilih. Jalan apa yang akan ia tempuh untuk dirinya dan dan privat kepada Tuhannya. Dengan ketentuan Tuhan pun, bila mausia ingin memilih jalan hidupnya dengan baik, bisa jadi Tuhan menakdirkan seperti apa yang telah kita usahakan. Tidak pula seharusnya bagi kita mengatakan bahwa semua yang telah kita usahakan semata karena kemampuan yang kita milki. Lalu siapa yang memberikan kemampuan? Siapa yang memberikan kesempatan? Kata seorang kyai dalam acara sakral yang aku ikuti dua tahun yang lalu, “Insya Allah dengan kerja keras dan doa insya Allah akan mendapatkan hasil yang terbaik.” Pun bilamana sesuatu yang telah kita usahakan itu ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang datang, maka yang bisa kita lakukan selayaknya manusia adalah mengikhlaskan segalanya, kemudian bangkit. Moving!

Sabtu, 22 Desember 2012

Hidup Untuk Mati

اعمل لدنياك كـأنك تعيشين أبدا و اعمل لاخرتك كأنك تموت غدا Bila kita mengerjakan sesuatu untuk duniawi, maka kita harus mengerjakannya semaksimal mungkin seakan-akan kita akan hidup selamanya, tapi untuk masalah ke-akhiratan, sebaiknya kita mengingat seakan-akan kita akn mati esok. Maka kita akan jauh lebih giat beribadah. Refleksi setelah mengajar di MI. Ada seorang murid kelas enam yang ternyata mengidap kanker otak stadium empat, walau tak kenal aku tetap asyik menyimak cerita Pak Kepala Sekolah. Kondisi anak itu telah kritis. Sampai-sampai botok kepalanya retak. Kondisi pasca operasi yang ‘paling’ selamat adalah setengah mati. Karena otaknya akan diambil setengah. Ditangani oleh dua dokter kepresidenan yang sudah dihasut untuk berbuat amal bagi anak itu. Semoga operasinya berhasil. Amin. Sang kepala sekolah jugaSemoga operasinya berhasil. Amin. Sang kepala sekolah juga bercerita tentang mimpinya. Dulu sekali beliau pernah bermimpi mati. Sangat terasa. Sudah dimandikan, dikafani, dan akan dikuburkan, si mayat kepala sekolah itu bicara. Ia belum bersyahadat. Setelah membaca syahadat lengkap, beliau terbangun karena tebasan sajadah temannya yang mengatakan ia mengigau sambil bersyahadat keras-keras. Subhanallah.... bila saja kepala sekolah tersebut tak bersyahadat bisa saja ia dibawa mati dalam tidurnya. Aku termenung sejenak. Mungkin juga aku sudah lama tak pernah memikirkan kehidupan setelah mati itu. Aku terlalu disibukkan dengan urusan keduniawian. Sibuk memikirkan kuliah selanjutnya, hiburan, dan berbagai macam hal yang sebenarnya hanya sesaat. Bulu kudukku otomatis berdiri mendengar cerita tersebut. Hampir saja menangis. Saat kepala sekolah bercerita tentang pembantunya yang ribut dengan pertanyaan. “Kita hidup untuk aapa, sih?” beliau menjawab, “Kita hidup untuk menyiapkan bekal setelah mati. Memilki mobil, digunakan untuk menolong orang. Memilki banyak uang, duigunakan untuk sedekah. Jadi sebenarnya yang kita lakukan di dunia ini ya kembalinya untuk nanti ketika kita telah mati.” Lalu, apa yang telah kita persiapkan kini untuk bekal kelak bila nanti nafas tak mau lagi berhembus? Atau saat jantuk tak mau lagi berdetak? Siapkah kita untuk semua itu? Indahnya hidup adalah saat kita dapat mengetahui kapan kita mati. Sama seperti hujan tak akan ada yang prenah tahu kan kapan turunnya kecuali jika sudah ada tanda-tanda mendung dan langit gelap? Karena tidak tahu itu, maka kita harus menyiapkan diri dengan segala kemungkinan terburuk. Bisa saja setelah aku menulis ini aku mati. Siapa yang tahu?