Rabu, 26 Desember 2012

Memilih masa depan

Mungkin agak sedikit drama. Tapi jangan sebut aku Drama Queen karenanya. Aku tak pernah tahu masa depan. Manusia juga begitu. Siapapun ia. Bahkan dukun pun, tidak akan tahu bagaimana ia akan disiksa nanti di neraka atas kerjasamanya dengan jin dan setan untuk menguping pembicaraan surga tentang masa depan. Jibril saja tidak tahu kapan akan kiamat. Lalu apa yang manusia harus lakukan? Manusia cukup dan memang seharusnya untuk mempersiapkan masa depannya. Walau toh akhirnya Tuhan jugalah yang menentukan. Alasan tersebut bukan berarti membuat kita diam dan menunggu ketentuan akhir dari Tuhan, bukan? Kita harus tetap bergerak dan menggerakkan. Berfikir dan memikirkan. Untuk itu kan manusia diciptakan. Malaikat akan seratus persen taat pada Allah karena mereka memilki chip program untuk menjadi hamba Allah yang paling taat. Mereka tak memiliki keinginan ataupun hawa nafsu. Setan pun seperti itu. Ia akan seratus persen membangkang pada Allah karena chip yang mereka gunakan dari awal pembentukannya untuk menyesatkan manusia. Sedangkan manusia? Manusia bisa saja menjadi hamba Allah yang taat dan hamba Allah yang palng durhaka. Karena manusia dapat memilih. Jalan apa yang akan ia tempuh untuk dirinya dan dan privat kepada Tuhannya. Dengan ketentuan Tuhan pun, bila mausia ingin memilih jalan hidupnya dengan baik, bisa jadi Tuhan menakdirkan seperti apa yang telah kita usahakan. Tidak pula seharusnya bagi kita mengatakan bahwa semua yang telah kita usahakan semata karena kemampuan yang kita milki. Lalu siapa yang memberikan kemampuan? Siapa yang memberikan kesempatan? Kata seorang kyai dalam acara sakral yang aku ikuti dua tahun yang lalu, “Insya Allah dengan kerja keras dan doa insya Allah akan mendapatkan hasil yang terbaik.” Pun bilamana sesuatu yang telah kita usahakan itu ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang datang, maka yang bisa kita lakukan selayaknya manusia adalah mengikhlaskan segalanya, kemudian bangkit. Moving!

Sabtu, 22 Desember 2012

Hidup Untuk Mati

اعمل لدنياك كـأنك تعيشين أبدا و اعمل لاخرتك كأنك تموت غدا Bila kita mengerjakan sesuatu untuk duniawi, maka kita harus mengerjakannya semaksimal mungkin seakan-akan kita akan hidup selamanya, tapi untuk masalah ke-akhiratan, sebaiknya kita mengingat seakan-akan kita akn mati esok. Maka kita akan jauh lebih giat beribadah. Refleksi setelah mengajar di MI. Ada seorang murid kelas enam yang ternyata mengidap kanker otak stadium empat, walau tak kenal aku tetap asyik menyimak cerita Pak Kepala Sekolah. Kondisi anak itu telah kritis. Sampai-sampai botok kepalanya retak. Kondisi pasca operasi yang ‘paling’ selamat adalah setengah mati. Karena otaknya akan diambil setengah. Ditangani oleh dua dokter kepresidenan yang sudah dihasut untuk berbuat amal bagi anak itu. Semoga operasinya berhasil. Amin. Sang kepala sekolah jugaSemoga operasinya berhasil. Amin. Sang kepala sekolah juga bercerita tentang mimpinya. Dulu sekali beliau pernah bermimpi mati. Sangat terasa. Sudah dimandikan, dikafani, dan akan dikuburkan, si mayat kepala sekolah itu bicara. Ia belum bersyahadat. Setelah membaca syahadat lengkap, beliau terbangun karena tebasan sajadah temannya yang mengatakan ia mengigau sambil bersyahadat keras-keras. Subhanallah.... bila saja kepala sekolah tersebut tak bersyahadat bisa saja ia dibawa mati dalam tidurnya. Aku termenung sejenak. Mungkin juga aku sudah lama tak pernah memikirkan kehidupan setelah mati itu. Aku terlalu disibukkan dengan urusan keduniawian. Sibuk memikirkan kuliah selanjutnya, hiburan, dan berbagai macam hal yang sebenarnya hanya sesaat. Bulu kudukku otomatis berdiri mendengar cerita tersebut. Hampir saja menangis. Saat kepala sekolah bercerita tentang pembantunya yang ribut dengan pertanyaan. “Kita hidup untuk aapa, sih?” beliau menjawab, “Kita hidup untuk menyiapkan bekal setelah mati. Memilki mobil, digunakan untuk menolong orang. Memilki banyak uang, duigunakan untuk sedekah. Jadi sebenarnya yang kita lakukan di dunia ini ya kembalinya untuk nanti ketika kita telah mati.” Lalu, apa yang telah kita persiapkan kini untuk bekal kelak bila nanti nafas tak mau lagi berhembus? Atau saat jantuk tak mau lagi berdetak? Siapkah kita untuk semua itu? Indahnya hidup adalah saat kita dapat mengetahui kapan kita mati. Sama seperti hujan tak akan ada yang prenah tahu kan kapan turunnya kecuali jika sudah ada tanda-tanda mendung dan langit gelap? Karena tidak tahu itu, maka kita harus menyiapkan diri dengan segala kemungkinan terburuk. Bisa saja setelah aku menulis ini aku mati. Siapa yang tahu?

Kamis, 29 November 2012

Be Maximalist!

Bila ditanya, berapa persen usaha dan do'a bila dikerahkan? Bila menjawab fifty-fifty, berarti berusaha dan berdo'a hanya setengah-setengah, bila menjawab do'a lebih banyak, maka termasuk orang yang pasrah, bila menjawab usaha lebih banyak, maka ia sombong tak bertawakal. Maka, jawaban yang sekiranya pas adalah 100%-100%. Kenapa? Atas dasar اعملوا فوق ما عملوا maka secara tidak langsung kita harus maksimal dalam melakukan segala pekerjaan. Dirasa kita masih belum sempurna, maka do'alah penyempurnanya dengan do'a yang 100% pula. belajar 100%, tanpa do'a, siapa tahu kalau seandainya saat ujian kita sakit. Pintar pun tak akan kuasa bila dalam kondisi lemah. Do'a 100% apalagi. Memang segala sesuatu itu adalah di tangan-Nya, tapi Tan pun menyuruh pada hamba-Nya agar selalu berusaha. Usaha tanpa Do'a = SOMBONG, Do'a tanpa Usaha = BOHONG. lalu, apa yang harus kita lakukan? Maksimal di segala sisinya.

Selasa, 20 November 2012

Mengisi Ruang Kosong

Saat membuka dokumen-dokumen lama, aku menemukan sebuah tulisan. Yang ternyata itu adalah tulisanku sendiri. Kurang dari setahun ternyata aku bisa juga lupa akan apa yang pernah kutulis. Hanya sebuah tulisan kecil yang kutulis di diary yang masih kupakai hingga saat ini. Mungkin saat aku menulisnya hatiku sedang galau. Galau karena apa? Tentang mimpi, bung! Maka aku mengibaratkan masa depan dan kehidupan kita itu bak ruang kosong. Apa yang akan kita isi dalam ruang kosong itu adalah sebuah bentuk visualisasi dari kehidupan dalam ruang kosong tersebut. Kita bisa mengisinya dengan mimpi, harapan, cita, asa, apa yang ingin dilakukan, apa yang tidak ingin dikerjakan, dan banyak hal lain yang kelak akan menjadi warna dalam hidup itu sendiri. Bisa jadi karena melihat seorang guru besar lewat kita langsung berkeinginan untuk melanjutkan sekolah di luar dan menggapai pendidikan lebih tinggi lagi. Bisa jadi saat membaca sebuah artikel di koran, kita langsung punya keinginan untuk diving ke pulau Lombok. Itu sebuah harapan dan keyakinan. Entah real ataupun mustahil bagi kita untuk dikerjakan, mengapa kita ambil pusing akan hal tersebut? Karena terlalu berfikir rasionil maka harapan dan keinginan tersebut langsung saja dibakar habis karena tahu tidak mungkin terjadi. Sebenarnya tak ada alasan untuk takut bermimpi ataupun berharap, toh kita pernah merasa bahagia telah terwarnai dengan ‘isi’ dari ruang kosong tersebut. Keseluruhan isi dalam ruang kosong memilki energi hebat yang menggerakkan kita dalam kehidupan. Dream high... Fight Hard... dan ikhlaskan semuanya!

Kamis, 15 November 2012

Memilih Kehidupan

Hidup itu sebuah pilihan. Benar, kan? Tak akan ada yang dapat menyangkali kalimat tersebut. Hidup ini memang kumpulan dari skenario Tuhan yang kita sebut dengan takdir. Tapi yang perlu digarisbesarkan adalah takdir tersebut adalah kumpulan dari garisan-garisan lain yang menjadi satu pada takdir tersebut. Apa garis itu? Ya, itulah sebuah pilihan. Tak akan sampai si takdir yang akan membawa kita apabila kita belum juga memilih kehidupan selanjutnya yang akan kita lalu. Seperti pilihan antara akan makan atau main game, pilihan melanjutakan sekolah di pondok atau di SMA, pilihan akan meneruskan di perguruan tinggi atau langsung kerja, dan masih banyak pilihan-pilihan lain yang harus kita putuskan untuk memilihnya. Tentunya kalian semua pernah kan merasakan sebuah pilihan sulit? Layaknya makan buah simalakama, bila tidak dimakan terasa sayang dan bila dimakan juga teraasa berbahaya. Nah loh? Lalu bagaimana dengan pengambilan putusan tersebut? Ada yang bilang bila kita terpojok seperti itu, maka layaknya kita untuk berserah pada Tuhan. Biar Ia yang menunjukkan kita jalan yang benar, contohnya asaja dengan shalat istikharah. Banyak teman yang sudah mencoba dan terbukti memiliki efek yang sangat kuat terhadap pilihan sulit itu. Ada yang melalui mimpi, keyakinan, ataupun petunjuk-petunjuk. Tentunya harus dengan niat yang kuat. Tapi aku sendiri belum begitu yakin dengan istikharah. Pasalnya, bila kita memiliki dua pilihan, otomatis kita memiliki kecondongan di antara keduanya, tapi dirasa belum begitu yakin. Yang aku takutkan dari itu semua adalah bila tidak menjalankan apa hasil istikharah tersebut, lalu bagaimana? Tapi pilahn itu ada di tangan kita sendiri. Seorang teman berkata, bila kita tidak dapat menentukan pilihan, maka kita bisa saja menjadi bagian dari rencana orang lain. Layaknya orang tua yang tak jarang memaksakan kehendaknya agar si anak itu megikuti pilihannya. Memang di atas segalanya, orang tua hanya memikirkan yang terbaik bagi buah hatinya, tapi menentukan pilihan sendiri adalah tahap pendewasaan tersendiri. Sudah seharusnya orang tua mendukung dan mengarahkan pilihan kita. Hidup adalah sebuah pilihan, kadang pilihan terbaik adalah yang tersulit. Percaya akan hal itu?

Senin, 22 Oktober 2012

Not A Problem to be Solved

Kutipan yang selalu kupegang dari seorang dosen favorit yaitu, Life is not a problem to be solved, but it is a reality to be enjoyed. Beliau selalu mengikrarkan kata-kata itu di tiap pertemuan kami dengan menggebu-gebu dan dengan kilatan mata yang sangat optimis. Biografi hidupnya yang memang layak untuk dibukukan. Di usianya yang kepala empat ini masih belum juga Allah memberinya nikmat keturunan, tapi apakah masalah besar itu membuat beliau harus pesimis dan ragu menatap hidup. Tidak! Beliau malah kerap kali menantang kehidupan dan manatapnya sebagaimana layaknya sarapan yang harus dinikmati. Menikmati hidup.... sulitkah? Kerap kali kita ingin saja bumi menelan diri agar terbebas dari semua masalah yang ada. Manusia hidup pasti memiliki masalah. Yang telah mati saja juga memiliki masalah. Bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat di kuburan nanti, melewati siksa, masuk surgakah. Ternyata manusia yang hidup maupun yang mati semua memliki masalah untuk (harus) dihadapai, tapi hidup juga bukan untuk melulu memikirkan jalan keluar dari segala problematika hidup itu. Bagaimana cara menikmati hidup yang notabene selalu ada masalah? Mengingat selalu bahwa kita tidak sendiri di dunia ini. Mendoktrinkan diri bahwa hanya kitalah satu-satunya manusia yang mempunyai maslaah dan seakan Tuhan tengah membenci kita, maka kapan semua itu berakhir? Berpikir dengan SEHAT agar selalu positif dalam tiap tindak tanduk laku dan melihat dengan kaca mata yang lebih terang pada kehidupan. Satu-satunya jalan bila semua itu terjadi adalah dengan menjalaninya. Ditambah dengan menikmati. Bahkan air laut pun bisa terasa manis. Pegang kepala dan nyanyikan... "Hidupku indah... bila kau tahu... jalan mana yang benar...."

Rasio Hidup

Paling tidak kita harus menjadi manusia yang lebih baik. Sesederhana itu saja sebenarnya. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwqa manusia yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka ia termasuk orang yang beruntung. Bila hari ini sama saja dengan hari kemarin, maka ia termasuk orang yang merugi. Namun bila hari ini lebih buruk daripada hari kemarin, maka ia termasuk orang yang hina. Yang manusia butuhkan dalam hidup ini adalah sebuah pencapaian. Memiliki target dan tujuan jelas maka hidup akan jauh lebih bermakna. Tiap harinya, minggunya, bulannya, tahunnya, hingga sebelum ajal menjemput. Tak jarang kan kita mengeluh tak mau mati karena belum luluslah, belum kawinlah, belum punya anaklah, atau yang lainnya. Saya sendiri, sering kali termotivasi justru karena pengaruh orang sekitar. Yang lebih rajin, lebih pandai, lebih teliti, dan lebih, lebihnya lagi. Uusiikum wa iyyaya nafsii. Sering kali pepatah mengatakan bahwa kita jangan terlalu sering memandang ke atas, karena efeknya itu ada pada ketidakpuasan dan kurang bersyukur. Tapi, untuk menjadi orang yang lebih baik itu tak ada salahnya bagi kita untuk memandang ke atas sambil memandang ke bawah untuk tetap bersyukur. Hidup memang harus penuh kesyukuran, tapi tak ada yang salah denagn terus menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya. Untuk menjadi orang yang beruntung, kan?

Sabtu, 20 Oktober 2012

ESENSI BAHAGIA

Kalau membicarakan soal ‘apa arti bahagia’, tak akan pernah ada jawaban final akan hal tersebut. Mengapa? Karena jawaban dari bahagia itu sendiri tergantung bagaimana manusia yang dan pernah hidup itu menjawab dengan deskripsi masing-masing. Ada orang bahagia karena mendapat bunga dari pacar, bisa makan setelah lama kelaparan, memiliki kesempatanm tidur di tengah pekerjaan yang padat, melihat anak yang baru lahir, bahkan meninggal pun bisa masuk dalam kategori bahagia. Relatif kan? Sepotong kalimat ‘cantik’ yang tercetak bersama sebuah pembatas buku yang diperlihatkan oleh seorang ibu muda pada anak sulungnya tertulis: “The Grand Essential of Happiness Are: Something to think, Something to do, and Something to love”. Kalau ditelaah benar juga ya…. Memikirkan hal yang kita suka dan inginkan dapat membuat kita bahagia. Melakukan suatu pekerjaan, kemudian bahagia. Mencintai sesuatu pun tentu membuat kita bahagia. Penilaian seperti itu pun masih relative juga. Bahagia menurutku bukanlah sebuah pencarian. Sering kali kita mendengar, aku ingin mencari kebahagiaan. Lalu, hidupmu kini sesuram apa, bung? Aku dapat bahagia saat mengerjakan soal ujian pelajaran yang kuminati, aku bahagia saat mendapat telepon dari orang tua, aku bahagia ketika mendapat wesel, aku bahagia saat orang lain dapat menikmati tulisanku, dan aku pun bahagia ketika dapat menjadi diriku sendiri. Masih banayk lagi rasa bahagia yang pernah kurasa. Katagorinya, yang membuat hati ini tidak terganjal, tertekan, dan kita menikmati esensinya. Mulai dari hal remeh sampai ke hal yang sangat penting. Saat mencari bahagia, sesungguhnya kita mencari sesuatu yang tak berujung dan tak akan pernah ada hasil akhirnya. Bagaimana kita dapat ‘peka’ dalam menata hati menuju bahagia itu sendiri. Intinya adalah menikmati hidup. Lalu, apa bahagia untukmu?

Rabu, 17 Oktober 2012

Kotak Pandora

Siapa yang akan tahu ke manakah aliran air akan melaju? Bisa saja terbawa arus menuju samudra yang luas ataukah bersama melawan kerasnya ombak yang datang. Tidak akan pernah dapat memprediksikan apa yang ada dalam kehidupan kita nanti dan kelak. Dalam mitologi Yunani ada cerita tentang kotak pandora, tapi cerita yang lebih kukenal adalah sebuah cerita rakyat Jepang. Tentang seorang pria yang terbawa ke sebuah kerajaan di dalam laut karena ia menolong salah satu putri di kerajaan tersebut. Ia dijamu sebagaimana layaknya seorang pahlawan. Setelah itu, ia ingin kembali ke dunianya dan sang ratu memberikannya sebuah kotak dengan syarat lelaki itu tidak boleh membukanya sebelum sampai di rumah. Karena rasa penasarannya yang melebihi, ia tak tahan lagi untuk membuka isi kotak hadiah tersebut. Voila! Apa yang terjadi? Pria itu berubah menjadi seorang kakek-kakek berumur 100 tahun karena rasa penasarannya itu. Dalam mitologi Yunani, pandora mempunyai cerita sendiri. Untuk menghukum umat manusia karena telah mencuri api dari Gunung Olimpus, Zeus menyuruh salah satu anaknya, Hefaistos dewa pandai besi, untuk membuat seorang manusia. Maka terciptalah manusia perempuan pertama di dunia. Setelah diciptakan, Athena mengajarinya menenun dan menjahit serta memberinya pakaian, Afrodit memberinya kecantikan dan hasrat, para Kharis memakaikan padanya perhiasan, para Hoirai memberinya mahkota, Apollo mengajarinya bernyanyi dan bermain musik, Poseidon memberinya kalung mutiara, Hera memberinya rasa penasaran yang besar, Hermes memberinya kepandaian berbicara serta menamainya Pandora, bermakna "mendapat banyak hadiah". Zeus kemudian memberikan Pandora pada Epimetheus untuk dinikahi. Prometheus, saudara Epimetheus, berusaha memperingatkannya untuk tidak menerima Pandora tetapi Pandora begitu mempesona sampai-sampai Epimetheus mau menikahinya. Pada hari pernikahan mereka, para dewa memberi hadiah berupa sebuh kotak yang indah dan Pandora dilarang untuk membuka kotak tersebut.
Suatu hari, Pandora sangat penasaran dan kemudian membuka kotak tersebut. Setelah dibuka, tiba-tiba aroma yang menakutkan terasa di udara. Dari dalam kotak itu terdengar suara kerumuanan sesuatu yang dengan cepat terbang ke luar. Pandora sadar bahwa dia telah melepaskan sesuatu yang mengerikan dan dengan segera menutupnya tapi terlambat, Pandora telah melepaskan teror ke dunia. Masa tua, rasa sakit, kegilaan, wabah penyakit, keserakahan, pencurian, dusta, cemburu, kelaparan, dan berbagai malapetaka lainnya telah bebas. Semua keburukan itu menyebar ke seluruh dunia dan menjangkiti umat manusia. Pandora sangat terkejut dan menyesal atas apa yang telah dilakukannya. Dia kemudian melihat ke dalam kotak dan menyadari bahwa ternyata masih ada satu hal lagi yang tersisa di sana, yaitu harapan. Lalu hikmah apa yang dapat kita ambil dari dua cerita di atas? Bet6apa kita tak dapat dan boleh mengetahui rahasaia langit yang memang sangat rahasia. Sebenarnya untuk apa sih Tuhan merahasiakan cerita hidup kita sendiri? Agar manusia selalu dapat berusaha dengan segala kekuatannya dan menerima kejutan tiap detiknya dari Tuhan dengan cara melewati kehidupan ini. Tidak ada yang dapat manusia lakukan selain berusaha!

Selasa, 16 Oktober 2012

Doktrin = Vonis Mati

Ternyata memang doktrin itu layaknya vonis mati. Itu salah satu status yang kubuat di facebook karena mengingat masa lalu. Seperti kata mahfudzot kelas empat. Sekali kita mendoktrin seseorang dengan buruk atau baik, selamanya doktrin itu akan melekat pada diri. Sayangnya vonis mati saja bisa diubah dengan sedikit ‘pelicin’, tapi kalau doktrin buruk? Mau pakai ‘pelicin’ sebanyak apapun akan sulit, malah bahkan tak pernah hilang dari penilaian orang. Gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan loreng, dan manusia.... hidup dan mati masih meninggalkan sebuah penilaian. Entah itu baik ataupun buruk. Bila seseorang telah dipandang tidak baik, ingin berubah pun akan sulit. Entah dari segi niat orang tak percaya, perkataan orang tak mau tahu, dan perkataan orang tak mau lihat. Masa juga tak dapat mengubah pandangan itu. Hingga tak jarang si korban ‘vonis’ itu tak mau tahu lagi dengan omongan orang, bahkan tak ada semangat untuk berubah. Bila sudah ‘terlanjur’ begitu, maka harus bagaimana? Tetapkah dengan kondisi yang buruk itu? Mengutip perkataan seorang dosen, WELL BEGIN HALF DONE. Yang berarti permulaan yang baik saja sudah termasuk setengah pekerjaan. Kalau begitu, bila diakhiri hingga baik pula bisa saja pekerjaan itu dapat mencapai hasil yang kita inginkan. Mau coba? Ustadz Jefri Al-Bukhari dan Opick saja sebelum lebih mendalami islam dan menjadi ‘sesuatu’ bagi umat di Indonesia saja berawal dari musik rock bahkan mantan narapidana. Dengan blacklist yang seperti itu, toh mereka mampu juga untuk tetap berubah dan baik. Tanpa peduli kata orang, tanpa peduli pandangan orang, dan tanpa peduli bagaimana orang menilai kita... yang kita punya hanya niat yang tulus dan Allah. Hasil akhir siapa yang tahu bila tak mencoba untuk berubah. So... KEEP MOVING FORWARD!!!!!!!

Senin, 15 Oktober 2012

Bukan Hanya 'ME' My Self

Aku memiliki seorang kenalan, teman lebih tepatnya. Dilahirkan dari sebuah keluarga yang agamis, bahkan seorang kyai sebuah pondok pesantren yang lumayan terkenal di Indonesia. Menikmati masa remajanya kini dengan sangat berharga. Karena ia tahu, bahwa pada saatnya nanti pun ia akan kembali ke pondok. Memperjuangkan pondoknya. meninggikan asma-llah dari jalur pendidikan islam. jujur, salutku tak dapat terbayar baginya dan orang lain yang bernasib sama seperti layaknya temanku itu. Di umurnya yang masih muda itu telah memikirkan umat, di dalam jiwanya yang masih (dan tentunya) muda itu telah terpasung rasa ketersediaan pada ummat. Betapa ia sangat memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri. Padahal, dewasa kini tak jarang bahkan orang dewasa pun selalu saja memikirkan dirinya sendiri. ME MYSELF. Masih adakah orang-orang yang limited edition itu bersarang di bumi ini? aku sendiri pun tak dapat menjamin untuk tidak mengedapankan ego di beberapa laku. Al-Insaanu Makaanu-l-Khoto'i wa-n-nisyaani. Manusia itu tempatnya salah dan lupa.

The Falling Leaf Does not Hate the Wind

Judul ini kudapat dari sebuah novel karya Tere-Liye. Bukan maksud plagiat, tapi lebih tepatnya terinspirasi. Dari segi filosofisnya, daun tak pernah membenci angin yang menjatuhkannya. Walau dijatuhkan, walau diterbangkan. Begitu pula kehidupan. Sejauh manakah kehidupan ini telah menjungkir balikkan diri ini, tapi layakkah kita untuk membenci dengan segala yang ada? Memarahi kehidupan alih-alih pada Tuhan. Tidakk..... Maka jadilah seperti daun yang jatuh. Ia mengikhlaskan segalanya. Seikhlas-ikhlasnya.....