Kamis, 29 November 2012

Be Maximalist!

Bila ditanya, berapa persen usaha dan do'a bila dikerahkan? Bila menjawab fifty-fifty, berarti berusaha dan berdo'a hanya setengah-setengah, bila menjawab do'a lebih banyak, maka termasuk orang yang pasrah, bila menjawab usaha lebih banyak, maka ia sombong tak bertawakal. Maka, jawaban yang sekiranya pas adalah 100%-100%. Kenapa? Atas dasar اعملوا فوق ما عملوا maka secara tidak langsung kita harus maksimal dalam melakukan segala pekerjaan. Dirasa kita masih belum sempurna, maka do'alah penyempurnanya dengan do'a yang 100% pula. belajar 100%, tanpa do'a, siapa tahu kalau seandainya saat ujian kita sakit. Pintar pun tak akan kuasa bila dalam kondisi lemah. Do'a 100% apalagi. Memang segala sesuatu itu adalah di tangan-Nya, tapi Tan pun menyuruh pada hamba-Nya agar selalu berusaha. Usaha tanpa Do'a = SOMBONG, Do'a tanpa Usaha = BOHONG. lalu, apa yang harus kita lakukan? Maksimal di segala sisinya.

Selasa, 20 November 2012

Mengisi Ruang Kosong

Saat membuka dokumen-dokumen lama, aku menemukan sebuah tulisan. Yang ternyata itu adalah tulisanku sendiri. Kurang dari setahun ternyata aku bisa juga lupa akan apa yang pernah kutulis. Hanya sebuah tulisan kecil yang kutulis di diary yang masih kupakai hingga saat ini. Mungkin saat aku menulisnya hatiku sedang galau. Galau karena apa? Tentang mimpi, bung! Maka aku mengibaratkan masa depan dan kehidupan kita itu bak ruang kosong. Apa yang akan kita isi dalam ruang kosong itu adalah sebuah bentuk visualisasi dari kehidupan dalam ruang kosong tersebut. Kita bisa mengisinya dengan mimpi, harapan, cita, asa, apa yang ingin dilakukan, apa yang tidak ingin dikerjakan, dan banyak hal lain yang kelak akan menjadi warna dalam hidup itu sendiri. Bisa jadi karena melihat seorang guru besar lewat kita langsung berkeinginan untuk melanjutkan sekolah di luar dan menggapai pendidikan lebih tinggi lagi. Bisa jadi saat membaca sebuah artikel di koran, kita langsung punya keinginan untuk diving ke pulau Lombok. Itu sebuah harapan dan keyakinan. Entah real ataupun mustahil bagi kita untuk dikerjakan, mengapa kita ambil pusing akan hal tersebut? Karena terlalu berfikir rasionil maka harapan dan keinginan tersebut langsung saja dibakar habis karena tahu tidak mungkin terjadi. Sebenarnya tak ada alasan untuk takut bermimpi ataupun berharap, toh kita pernah merasa bahagia telah terwarnai dengan ‘isi’ dari ruang kosong tersebut. Keseluruhan isi dalam ruang kosong memilki energi hebat yang menggerakkan kita dalam kehidupan. Dream high... Fight Hard... dan ikhlaskan semuanya!

Kamis, 15 November 2012

Memilih Kehidupan

Hidup itu sebuah pilihan. Benar, kan? Tak akan ada yang dapat menyangkali kalimat tersebut. Hidup ini memang kumpulan dari skenario Tuhan yang kita sebut dengan takdir. Tapi yang perlu digarisbesarkan adalah takdir tersebut adalah kumpulan dari garisan-garisan lain yang menjadi satu pada takdir tersebut. Apa garis itu? Ya, itulah sebuah pilihan. Tak akan sampai si takdir yang akan membawa kita apabila kita belum juga memilih kehidupan selanjutnya yang akan kita lalu. Seperti pilihan antara akan makan atau main game, pilihan melanjutakan sekolah di pondok atau di SMA, pilihan akan meneruskan di perguruan tinggi atau langsung kerja, dan masih banyak pilihan-pilihan lain yang harus kita putuskan untuk memilihnya. Tentunya kalian semua pernah kan merasakan sebuah pilihan sulit? Layaknya makan buah simalakama, bila tidak dimakan terasa sayang dan bila dimakan juga teraasa berbahaya. Nah loh? Lalu bagaimana dengan pengambilan putusan tersebut? Ada yang bilang bila kita terpojok seperti itu, maka layaknya kita untuk berserah pada Tuhan. Biar Ia yang menunjukkan kita jalan yang benar, contohnya asaja dengan shalat istikharah. Banyak teman yang sudah mencoba dan terbukti memiliki efek yang sangat kuat terhadap pilihan sulit itu. Ada yang melalui mimpi, keyakinan, ataupun petunjuk-petunjuk. Tentunya harus dengan niat yang kuat. Tapi aku sendiri belum begitu yakin dengan istikharah. Pasalnya, bila kita memiliki dua pilihan, otomatis kita memiliki kecondongan di antara keduanya, tapi dirasa belum begitu yakin. Yang aku takutkan dari itu semua adalah bila tidak menjalankan apa hasil istikharah tersebut, lalu bagaimana? Tapi pilahn itu ada di tangan kita sendiri. Seorang teman berkata, bila kita tidak dapat menentukan pilihan, maka kita bisa saja menjadi bagian dari rencana orang lain. Layaknya orang tua yang tak jarang memaksakan kehendaknya agar si anak itu megikuti pilihannya. Memang di atas segalanya, orang tua hanya memikirkan yang terbaik bagi buah hatinya, tapi menentukan pilihan sendiri adalah tahap pendewasaan tersendiri. Sudah seharusnya orang tua mendukung dan mengarahkan pilihan kita. Hidup adalah sebuah pilihan, kadang pilihan terbaik adalah yang tersulit. Percaya akan hal itu?